MEMAHAMI KANDUNGAN SURAH AL-MU’MINUN AYAT : 1-11
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
-١- الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ -٢- وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ
مُعْرِضُونَ -٣- وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ -٤- وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ -٥- إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ
غَيْرُ مَلُومِينَ -٦- فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
-٧- وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ -٨- وَالَّذِينَ هُمْ
عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ -٩- أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ -١٠- الَّذِينَ
يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ -١١-
Tujuan
tertinggi dari setiap program dalam Islam adalah keberhasilan dan keselamatan.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyebutkan hal demikian. Dipilihnya
nama”Al-Mu’minuun” bagi surah ini adalah karena ayat-ayat awal surah ini
menyebutkan sifat-sifat orang beriman dalam beberapa prase yang singkat, hidup,
signiifikan dan komprehensif. Disamping
itu surah ini menyinggung soal nasib akhir orang-orang beriman yang
serba nikmat dan agung, sebelum berbicara tentang sifat-sifat mereka, Al-Qur’an
menyatakan bahwa setelah mencapai tujuan akhirnya dalam semua dimensi,
orang-orang beriman akan hidup sejahtera, Allah berfirman : “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Istilah
aflaha, berasal dari kata falah dan falah, kata ini asalnya berarti
memotong dan membelah dan kemudian digunakan untuk setiap senis kemenangan dan
prestasi yang mendatangkan keberhasilan dan kebahagiaan manusia.
Dalam
kenyataannya, orang-orang yang sukses, sejahtera dan menang adalah mereka yang
mampu mengatasi berbagai rintangan yang menghalangi jalan mereka mencapai
tujuan. Tentu saja, keberhasilan dan keselamatan memiliki arti luas, yang
mencakup baik kemenangan material maupun spiritual dan keduanya juga telah
dipertimbangkan berkenaan dengan orang-orang beriman yang memenuhi syarat.
Kemenangan
dan keberhasilan di dunia ini bermakna bahwa hidup merdeka, mandiri, sejahtera
dan terhormat dan semua kondisi yang baik ini hanya bisa dicapai dibawah baying
iman-iman. Keberhasilan di akhirat berarti tinggal secara terhormat dan
sejahtera dalam rahmat Allah SWT, mendapat curahan berkah abadi, serta memiliki
teman-teman suci dan serasi.
Sebanyak
dua puluh kali setiap sehari semalam, kita mengumandangkan” Hayya’alal falaah (
mari menuju keberuntungan )” dalam azdan dan iqamat sebelum shalat wajib
sehari-hari, dan dengan jelas mendeklarasikan tujuan akhir ini sehingga kita
tidak kehilangan jalan hakiki.
Kata
falaah berarti beruntung, mungkin karena alas an ini petani dalam Bahasa
Arab disebut fallah adalah karena dia menyiapkan kondisi-kondisi bagi tanaman
untuk tumbuh dan berkembang. Manakala ditanam kedalam tanah, benih
menyelamatkan dirinya dengan tiga tindakan dan mencapai udara terbuka :
1. Menanamkan akar-akarnya dikedalaman tanah.
2. Menyerap gizi dari tanah.
3. Menggeser tanah yang menghalangi jalan tumbuhnya
kepermukaan.
Seperti halnya benih tanaman, manusia harus
melaksanakan ketiga tindakan ini untuk membebaskan dirinya dan mencapai udara
terbuka tauhid dan menyelamatkan dirinya dari tuhan-tuhan palsu dan dunia gelap
materialisme :
1. Harus menguatkan akar-akar keimanannya dengan
penalaran.
2. Harus memperoleh potensi-potensi anugerah Allah SWT
sebanyak mungkin demi perkembangan dan penyempurnaan rohaninya.
3. Harus menjauhkan musush-musuh dan
rintangan-rintangan serta menyingkirkan sesembahan apa pun selain Allah SWT
dengan kalimat ”Laa ilaaha illallah” ( tidak ada tuhan kecuali hanya Allah SWT
)” untuk mencapai ruang terbuka tauhid.
Siapa orang-orang
yang beruntung yang mendapat kemenangan itu ? mereka itu adalah :
1. Orang-orang yang beribadah kepada Allah, firman-Nya
:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.
( QS.Al-Hajj : 77 )
2.
Mereka yang amal-amalnya bernilai dan berat timbangannya, firman Allah
SWT :
”Timbangan pada hari itu ialah kebenaran
(keadilan), Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, Maka mereka Itulah
orang-orang yang beruntung”. ( QS. Al-A’raf : 8 )
3. Mereka yang menghindari sifat kikir, firman
Allah SWT :
“……..dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah
orang orang yang beruntung”. ( QS.
Al-Hasyr : 9
4. Orang yang patuh kepada Allah SWT, dan
rasul-Nya firman-Nya :
”Hai orang-orang yang beriman. apabila
kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama)
Allah sebanyak-banyaknya[620] agar kamu beruntung”. ( QS. Al-Anfal :45 )
1.
Orang yang takut kepada Allah SWT, firman-Nya :
”Katakanlah: "Tidak sama yang buruk
dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka
bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat
keberuntungan." ( QS. Al-Maidah :100 )
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. ( QS.
Al-Maidah : 35 )
8.
Orang-orang yang bertaubat, firman Allah SWT :
”........dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. ( QS. An-Nur : 31 )
Ayat selanjutnya menyoroti sifat-sifat kaum beriman dan
dalam konteks ini, pertama-tama menekankan pentingnya shalat wajib, Allah SWT
berfirman : (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.
Istilah
khasyi’un ( orang-orang yang khusyu’ ) berasal dari kata khusyu’ yang berarti
kesopanan spiritual dan fisik, yang disandang secara lahiriah oleh jasad
manusia manakala berada dihadapan seorang besar atau di depan kebenaran yang
penting.
Di sini
Al-Qur’an tidak hanya memperhitungkan pelaksanaan shalat wajib itu sendiri
sebagai tanda orang-orang beriman, tetapi juga memandang kekhusyu’an dalam
shalat sebagai salah satu sifat mereka. Ini merujuk pada kenyataan bahwa shalat
mereka bukanlah shalat yang tak bermakna dan hanya merupakan gerakan-gerakan
tak berjiwa. Apabila mereka mengerjakan shalat wajib, mereka mencurahkan
perhatian sepenuhnya kepada Allah SWT dan melepaskan diri dari hal-hal selain
Dia, dan dengan demikian mencapai pertemuan dengan-Nya. Mereka sedemikian
khusyu’ dalam berkontemplasi serta berdo’a kepada Allah SWT, sehingga setiap
partikel wujudnya dipengaruhi oleh kekhusyu’an tersebut. Mereka melihat dirinya
hanya sebagai atom-atom yang bertebaran di hadapan Wujud tak terbatas dan
setetes air di lautan yang Maha luas.
Bagi
seorang mukmin, setiap saat dalam shalatnya adalah pelajaran dalam pengembangan
diri dan pelatihan untuk benar-benar menjadi manusia dan sarana menyempurnakan
hati dan jiwanya.
Sebuah
hadits menunjukkan bahwa suatu ketika, Nabi Muhammad SAW, melihat seorang
laki-laki mengelus-elus janggutnya saat mengerjakan shalat, maka Rasulullah SAW
pun berkata : sekiranya hatinya khusyu’, tentu anggota-anggota tubuhnya juga
akan khusyu’.
Perkataan
Nabi ini merujuk pada kenyataan bahwa kekhusyu’an adalah keadaan batin yang
mempengaruhi keadaan lahiriah seseorang. Para pemimpin spiritual Islam
yang besar selalu khusyu’ dalam shalatnya hingga ketika sedang shalat, mereka
menjadi terasing dari segala sesuatu selain Allah SWT. Terdapat sebuah hadits
yang mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW sedang berdiri dalam shalatnya,
beliau terkadang melihat kelangit, tetapi setelah ayat ini diturunkan, beliau
lalu melihat kebawah dan tak pernah lagi melihat keatas jika sedang shalat.
Kata laghwi berarti perbuatan
atau pembicaraan yang sia-sia. Menghindari kesia-siaan dan hal-hal yang tak
karuan tidak hanya terbatas pada kaum
muslimin saja, kaum terdahulu pun dianjurkan hal yang sama. Dalam ayat mulia di
atas, sifat kedua dari orang-orang beriman disebutkan sesudah sifat kekhusyu’an
adalah : Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna,
Dalam kenyataannya, semua gerakan dan
kebijakan hidup mereka memiliki tujuan yangberguna dan konstruktif. Sebab
ketidakbergunaan berarti kesia-sian dan ketidakefektifan dalam tindakan.
Sesungguhnya, seperti telah dikatakan para ahli tafsir besar, setiap tindakan
dan pembicaraan yang tidak membawa manfaat adalah sia-sia. Sebagian ahli tafsir
mengartikan kesia-siaan sebagai kehampaan dan yang lain menafsirkannya sebagai
dosa-dosa secara keseluruhan. Sebagian lagi menafsirkannya sebagai kutukan atau
menggunakan bahasa yang buruk, yang lain mengartikannya sebagai
nyanyian-nyanyian yang tak senonoh, tak karuan dan permainan-permainan.
Sementara yang lain lagi menafsirkannya
sebagai kemusyrikan. Semua penafsiran ini adalah perluasan dari konsep
umum dan menyeluruh.
Tentu
saja, kesia-siaan tidak hanya berarti pembicaraan dan perbuatan yang sia-sia
tanpa makna, melainkan juga pikiran sia-sia, tak bermakna dan tak berdasar yang
mengakibatkan lalai terhadap Allah SWT. Ia juga mencegah kita dari
merenungkan hal-hal yang baik dan
konstruktif. Semua karakteristik yang di sebutkan di atas diringkas dalam satu
konsep dan istilah laghwi ( kesia-siaan / ketidakbergunaan ).
Dalam
kenyataan aktual , orang-orang beriman sedemikian terlatih sehingga bukan saja
mereka tidak terlibat dalam pikiran-pikiran tak karuan dan tak berdasar, tapi
juga seperti dikatakan Al-Qur’an menghindarinya. Dengan perkataan lain,
perbuatan yang sia-sia adalah perbuatan yang yang tidak bermanfaat, akan tetapi
perbuatan sia-sia itu relatif sifatnya. Sebab, terkadang suatu perbuatan
merupakan sia-sia dalam satu situasi,
namun berharga dan berguna dalam situasi yang lain.
Akan
tetapi, Allah yang Maha Agung tidak mencirikan orang-orang yang beriman sebagai
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sia-sia secara mutlak. Sebab manusia
adalah makhluk yang berada di pinggir jurang dosa dan kesalahan. Dia
menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang menjauhi perbuatan seperti itu,
bukan meninggalkannya secara mutlak.
Meninggalkan
sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang mengajak manusia menyibukkan diri
dengannya, tetapi dia mengabaikannya dan tidak memberikan nilai kepadanya.
Malahan dia berpaling darinya dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain.
Seseorang yang meninggalkan suatu perbuatan menganggap bahwa melibatkan diri
dalam perbuatan tersebut adalah merendahkan derajatnya dan menganggap lebih
baik mengejar tujuan-tujuan yang lebih tinggi dan mengerjakan tugas-tugas lebih
mulia.
Iman yang
sejati juga menyeru manusia agar menumbuhkan sikap seperti ini, karena iman
termasuk dalam ranah kebesaran dan keagungan, serta merupakan sumber kebesaran,
kemuliaan dan kecemerlangan. Orang yang beriman hanya berupaya hidup demi
mencapai kesejahteraan akhir dan sukses yang kekal. Dia mengejar
kegiatan-kegiatan yang di pandang besar
oleh Allah SWT dan tidak memberi nilai pada perbuatan-perbuatan dan prilaku
orang-orang bodoh dan hina. Jika orang-orang jahil berbicara kepada orang-orang
yang beriman, maka mereka ( orang-orang yang beriman ) menjawabnya dengan
kebaikan, dan manakala orang-orang beriman itu melihat kegiatan yang sia-sia,
mereka akan menyikapinya dengan kemuliaan dan kemurahan hati.
Keadaan
orang-orang yang beriman ini menjadi jelas bahwa penggambaran mereka dengan
sikap menghindari hal yang sia-sia adalah makna yang bersifat kiasan yang
menunjuk pada tekad yang teguh dan kemulian pribadi mereka.
Kemudian
pada ayat yang lain dibahas masalah zakat. Istilah zakat dalam filologi berarti penyucian, kebersihan,
pertumbuhan, dan perkembangan. Dalam hukum Islam dan bagi kaum muslim, ia
berarti bagian khusus dari harta benda seseorang yang harus diambil, dengan
syarat-syarat tertentu dan kemudian diberikan kepada kaum fakir-miskin dan untuk
kegiatan-kegiatan kebaikan yang lain.
Dengan
perkataan lain, zakat adalah mengambil sebagian harta milik seseorang dan
memberikannya kepada orang miskin agar harta yang tertinggal pada pemiliknya
dapat tumbuh dengan rahmat Allah SWT dan meningkatkan derajat spritual
pemiliknya. Di samping itu, zakat juga menghilangkan apa yang tidak halal dari
harta seseorang dan menghilangkan cela dan sifat-sifat buruk dari pemiliknya.
Jadi , kita dapat mengatakan bahwa dikarenakan membayar zakat menghapuskan
sifat-sifat mamonisme ( pengaruh jahat kekayaan ), mementingkan diri sendiri,
serta kekikiran dan kekerasan hati dari jiwa manusia, maka ia dinamakan zakat.
Zakat
adalah kewajiban dan pelayanan agama yang sangat penting. Ia adalah kewajiban
Islam yang merupakan butir ketiga prinsip-prinsip agama dan dengan kata lain,
terhitung sebagai tonggak agama yang kedua. Orang yang mengingkari akan
wajibnya zakat, dianggap sebagai orang tak beriman atau bukan muslim. Pada ayat
ini merujuk pada sifat ketiga orang-orang beriman sejati, yang memiliki aspek
sosial dan ekonomi, Allah SWT berfirman :” Dan orang-orang yang menunaikan
zakat”.
Surah ini
diwahyukan di Mekkah dan ketika itu hukum yang mewajibkan zakat belum di
wahyukan. Karenanya, terdapat berbagai penafsiran yang di kemukakan oleh para
mufasir mengenai ayat ini.
Apa yang
tampaknya lebih benar adalah bahwa zakat tidak secara eksklusif berarti zakat
wajib. Sebab , Islam memiliki sejumlah sistem yang bersifat sunah. Zakat
sebagai kewajiban diwahyukan di Madinah, tetapi pembayaran zakat sebagai amal
baik yang di sunahkan juga telah diserukan sebelumnya.
Sebagian
ahli tafsir mengomentari bahwa zakat di Mekkah, mungkin sekali berupa kewajiban
agama, tetapi tanpa batasan dan ketentuan yang pasti, yang berarti bahwa kaum
muslim dibebani kewajiban memberikan sejumlah tertentu dari kekayaannya kepada
kaum miskin. Baru setelah berdirinya negara Islam dan terbentuknya Baitul Mal (
kas sosial dan pemerintahan ), sistem yang terdefinisikan dengan baik
menyangkut zkat disusun, yang menetapkan jumlah minimal harta yang wajib di zakati dan di kirimnya
utusan-utusan yang bertugas mengumpulkan zakat kepada masyarakat atas perintah
Nabi Muhammad SAW.
Akhirnya,
sebagai bahan perbandingan, mari kita cermati Surah Al-Maidah ayat 12 yang
artinya : ”Dan Sesungguhnya Allah Telah mengambil perjanjian (dari) Bani
Israil dan Telah kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu
mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan
kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik[406]
Sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan
Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka
barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia Telah tersesat
dari jalan yang lurus”.
[406] maksudnya ialah: menafkahkan harta untuk
menunaikan kewajiban dengan hati yang ikhlas.
Pada ayat
berikutnya Allah SWT berfirman :” Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”.
Karena insting seksual mungkin sekali disalahgunakan, maka penjagaan diri dari
hal ini memerlukan ketakwaan, disiplin yang keras dan iman yang kuat.
Ayat ini
menyatakan bahwa sifat keempat dari orang-orang beriman adalah kesucian dalam
hal seks, yakni mengendalikan diri dan menjauhi segala macam ketidakpatutan
seksual. Ini berarti bahwa mereka menjaga diri dari kecabulan, dan hanya
melakukan hubungan seks dengan isteri-isteri mereka dan budak-budak mereka
saja, dan itu tidaklah di salahkan, ayat selanjutnya mengatakan :” Kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal Ini tiada terceIa”.
Dalam ayat
ketujuh, Allah SWT berfirman :” Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka
mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas”.
Penggunaan
frase’menjaga kemaluan mereka’dalam ayat ini merujuk pada kenyataan bahwa jika
tidak ada kendali yang terus-menerus dan ketat terhadap
kecenderungan-kecenderungan ke arah prilaku seksual yang salah, maka akan
muncul bahaya di mana penyimpangan dan
ekses-ekses seksual akan menenggelamkan si individu bahkan masyarakat.
Kata’isteri-isteri’ dalam ayat ini mencakup isteri permanen maupun isteri
sementara ( Dalam perkawinan mut’ah ).
Penggunaan
frase ghayra maluumin ( mereka tidak dipersalahkan ), sangat mungkin
merujuk pada gagasan keliru yang berlaku di kalangan orang-orang kristen yang
menyimpang, yang mengatakan bahwa segala jenis hubungan seks bertentangan
dengan harkat manusia dan bahwa menjauhinya secara mutlak adalah kebajikan.
Mereka memandang setiap bentuk perkawinan sebagai bertentangan dengan usaha
untuk mencapai realisasi spiritual sepenuhnya sedemikian rupa sehingga para
pendeta Katolik, biarawan dan biarawati memperaktekkan kehidupan selibat (
membujang ) sepanjang hidupnya. Mereka menganggap perkawinan sebagai suatu hal
yang berlawanan dengan derajat spiritual yang tinggi ( meskipun penolakan
tersebut kebanyakan hanya bersifat lahiriah semata, di mana sekelompok dari
mereka secara diam-diam atau rahasia justru berprilaku berbeda ).
Orang
tidak perlu diingatkan bahwa legalitas hubungan seksual dengan isteri dibatasi
oleh beberapa kondisi tertentu seperti menstruasi dan semacamnya. Lebih jauh,
legalitas hubungan seksual dengan budak-budak perempuan memiliki banyak syarat
yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Dan perlu diingatkan juga bahwa
dijaman sekarang ini perbudakan sudah dihapuskan, ayat di atas hanya
menjelaskan jika masih ada perbudakan.
Ayat
berikutnya menjelaskan :” Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janjinya”. Sifat lain yang menonjol dari orang-orang
beriman adalah menjaga amanat dalam pengertiannya yang luas. Ini mencakup
menepati janji dan sumpah, baik kepada sang pencipta maupun sesama manusia.
Konsep
luas amanat mencakupi juga amanat-amanat dari Allah SWT dan dari para nabi
serta orang banyak pada umumnya. Masing-masing dari anugerah-anugerah Allah SWT
adalah amanat-Nya. Agama yang benar, kitab-kitab langit, ajaran-ajaran dan
perintah-perintah praktis dari para pemimpin jalan kebenaran, harta benda yang
dimiliki, tanggung jawab yang dipikul, serta kedudukan sosial yang kita miliki,
semuanya adalah amanat-Nya yang oleh orang-orang beriman senantiasa dijaga
supaya tetap terpenuhi.
Orang-orang
beriman menjaga amanat-amanat ini ketika masih hidup dan ketika menjelang ajal,
mereka mempercayakan amanat-amanat tersebut kepada generasi-generasi
selanjutnya yang telah mereka didik untuk memelihara amanat-amanat tersebut.
Makna umum
dari konsep amanat dan janji juga bisa ditemukan dalam ayat-ayat lain dalam
Al-Qur’an seperti dalam QS. An-Nahl ayat 91 :”Dan tepatilah perjanjian
dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan
Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Menariknya,
dalam beberapa ayat Al-Qur’an kita menemukan bahwa frase’ pengembalian barang
amanat’ dan ’ menghormati amanat ’ mencakup baik menjaga maupun mengembalikan
kepada pemiliknya. Karena itu, jika kegagalan untuk melindungi sesuatu yang di
pegang sebagai amanat mengakibatkan rusaknya sesuatu itu atau terjerumusnya ia
ke dalam bahaya, maka orang yang mendapat amanat itu harus berusaha
mengoreksinya ( jadi, terdapat tiga tugas yang harus dilakukan; mengembalikan,
melindungi dan mengoreksi ). Bagaimanapun, bersikap setia kepada perjanjian,
melindunginya dan mengembalikan barang titipan kepada pemiliknya adalah
pondasi-pondasi penting sistem sosial manusia.
Ciri dan
sikap paling menonjol dari orang-orang beriman adalah hal yang pertama yang
disebutkan dalam surah ini, yakni sikap mereka terhadap shalat, tatkala
mengatakan bahwa orang-orang beriman adalah mereka yang khusyu’ dalam shalatnya,
sikap ini lagi-lagi disebutkan pada ayat ke 9 :” Dan orang-orang yang
memelihara shalatnya”. Dengan demikian, surah ini menekankan peran maupun
pengaruh shalat, yang merupakan tanda
pentingnya. Dan ayat diatas , sebagai kekhususan terakhir orang-orang
beriman. Adalah
menarik bahwa sifat utama orang-orang beriman adalah khusyu’ dalam shalat dan
sifat mereka yang terakhir adalah menjaga shalat. Sifat-sifat mereka diawali
dengan shalat dan diakhiri dengan shalat pula, sebab shalat adalah tali
hubungan yang paling penting antara Sang Pencipta dan manusia.
Sholat merupakan pendidikan tertinggi
menuju kesadaran jiwa dan hati serta menjamin bahwa pelakunya akan menjauhi
dosa. Singkatnya, jika shalat menyatu dengan semua ritualnya, maka ia akan
menjadi landsan yang pasti bagi semua kebaikan dan amal shaleh. Juga perlu
disebutkan bahwa ayat pertama mengenai sifat-sifat orang beriman dan ayat ini
berbeda satu sama lain dalam hal masalahnya. Itulah sebabnya, dalam ayat
pertama kata ’shalat’ disebutkan dalam bentuk tunggal dan dalam ayat ini
disebutkan dalam bentuk jamak. Ayat pertama merujuk pada kekhusyu’an dan sikap
batin khusus yang merupakan roh shalat dan yang mempengaruhi keseluruhannya.
Ayat yang disebutkan terakhir ini memfokuskan pada disiplin dan syarat-syarat
pelaksanaan shalat, yang mencakup waktu,tempat dan jumlah shalat. Di sini ,
orang-orang beriman diseru agar menaati semua disiplin dan syarat yang
diperlukan bagi seluruh shalat.
Pada ayat 10 dan 11, Allah SWT
menjelaskan bahwa mereka itu adalah para pewaris yang yang akan menempati
surga-Nya, sebagaimana firman-Nya :” Mereka
Itulah orang-orang yang akan mewarisi,(yakni) yang akan mewarisi syurga
Firdaus. mereka kekal di dalamnya”.
Istilah
bahasa Arab,firdaus yang berarti kebun, adalah tempat terbaik di surga.
Setelah menyebutkan sifat-sifat paling menonjol dari orang-orang beriman, Allah
SWT berfirman bahwa nasib akhir mereka adalah menjadi pewaris-pewaris yang akan
mewarisi surge dan tinggal di dalamnya untuk selamanya. Dalam hal ini istilah
firdaus adalah kebun khusus yang di dalamnya semua nikmat dan anugerah
terkumpul. Karena itu, ia bisa disebut ’surga yang tinggi’ yang merupakan kebun
surga yang paling baik dan paling tinggi.
Digunakannya
kata’mewarisi’ mungkin menunjukkan bahwa orang-orang beriman akan
mendapatkannya tanpa kesulitan, persis seperti orang yang mendapatkan harta
warisan tanpa melalui kesulitan dan kerja keras. Tentu saja untuk mencapai
tempat-tempat yang tinggi di surge diperlukan perbaikan diri, penyucian dan
perjuangan. Tetapi imbalan besar yang diperoleh untuk itu menjadikan
upaya-upaya ini tampak seolah-olah kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa
orang-orang beriman itu memperoleh surga Firdaus itu tanpa melalui kesulitan
dan rasa sakit sedikit pun.
Arti
harfiah teks ayat menunjukkan bahwa kedudukan tinggi di surga ini dikhususkan
bagi orang-orang beriman yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas. Jadi, para
penghuni surga yang lain menempati kedudukan yang lebih rendah.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6303669560088871"crossorigin="anonymous"></script>