Selasa, 28 Oktober 2014

KANDUNGAN QS. AL-MU'MINUN AYAT 1 - 11

MEMAHAMI KANDUNGAN SURAH AL-MU’MINUN AYAT : 1-11

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ -١- الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ -٢- وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ -٣- وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ -٤- وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ -٥- إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ -٦- فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ -٧- وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ -٨- وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ -٩- أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ -١٠- الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ -١١-
Tujuan tertinggi dari setiap program dalam Islam adalah keberhasilan dan keselamatan. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyebutkan hal demikian. Dipilihnya nama”Al-Mu’minuun” bagi surah ini adalah karena ayat-ayat awal surah ini menyebutkan sifat-sifat orang beriman dalam beberapa prase yang singkat, hidup, signiifikan dan komprehensif. Disamping  itu surah ini menyinggung soal nasib akhir orang-orang beriman yang serba nikmat dan agung, sebelum berbicara tentang sifat-sifat mereka, Al-Qur’an menyatakan bahwa setelah mencapai tujuan akhirnya dalam semua dimensi, orang-orang beriman akan hidup sejahtera, Allah berfirman : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
          Istilah aflaha, berasal dari kata falah dan falah, kata ini asalnya berarti memotong dan membelah dan kemudian digunakan untuk setiap senis kemenangan dan prestasi yang mendatangkan keberhasilan dan kebahagiaan manusia.
          Dalam kenyataannya, orang-orang yang sukses, sejahtera dan menang adalah mereka yang mampu mengatasi berbagai rintangan yang menghalangi jalan mereka mencapai tujuan. Tentu saja, keberhasilan dan keselamatan memiliki arti luas, yang mencakup baik kemenangan material maupun spiritual dan keduanya juga telah dipertimbangkan berkenaan dengan orang-orang beriman yang memenuhi syarat.
          Kemenangan dan keberhasilan di dunia ini bermakna bahwa hidup merdeka, mandiri, sejahtera dan terhormat dan semua kondisi yang baik ini hanya bisa dicapai dibawah baying iman-iman. Keberhasilan di akhirat berarti tinggal secara terhormat dan sejahtera dalam rahmat Allah SWT, mendapat curahan berkah abadi, serta memiliki teman-teman suci dan serasi.
          Sebanyak dua puluh kali setiap sehari semalam, kita mengumandangkan” Hayya’alal falaah ( mari menuju keberuntungan )” dalam azdan dan iqamat sebelum shalat wajib sehari-hari, dan dengan jelas mendeklarasikan tujuan akhir ini sehingga kita tidak kehilangan jalan hakiki.
          Kata falaah berarti beruntung, mungkin karena alas an ini petani dalam Bahasa Arab disebut fallah adalah karena dia menyiapkan kondisi-kondisi bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Manakala ditanam kedalam tanah, benih menyelamatkan dirinya dengan tiga tindakan dan mencapai udara terbuka :
1.   Menanamkan akar-akarnya dikedalaman tanah.
2.   Menyerap gizi dari tanah.
3.   Menggeser tanah yang menghalangi jalan tumbuhnya kepermukaan.
Seperti halnya benih tanaman, manusia harus melaksanakan ketiga tindakan ini untuk membebaskan dirinya dan mencapai udara terbuka tauhid dan menyelamatkan dirinya dari tuhan-tuhan palsu dan dunia gelap materialisme :
1.   Harus menguatkan akar-akar keimanannya dengan penalaran.
2.   Harus memperoleh potensi-potensi anugerah Allah SWT sebanyak mungkin demi perkembangan dan penyempurnaan rohaninya.
3.   Harus menjauhkan musush-musuh dan rintangan-rintangan serta menyingkirkan sesembahan apa pun selain Allah SWT dengan kalimat ”Laa ilaaha illallah” ( tidak ada tuhan kecuali hanya Allah SWT )” untuk mencapai ruang terbuka tauhid.
Siapa orang-orang yang beruntung yang mendapat kemenangan itu ? mereka itu adalah  :
1.   Orang-orang yang beribadah kepada Allah, firman-Nya :
      “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah  kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. ( QS.Al-Hajj : 77 )
2.  Mereka yang amal-amalnya bernilai dan berat timbangannya, firman Allah SWT :
     ”Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. ( QS. Al-A’raf : 8 )
3.  Mereka yang menghindari sifat kikir, firman Allah SWT :
       “……..dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (   QS. Al-Hasyr : 9
4.  Orang yang patuh kepada Allah SWT, dan rasul-Nya firman-Nya :
       ”Allah Telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang". Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. ( QS. Al-Mujaadilah : 22 )
5.  Mereka yang banyak mengingat Allah SWT, firman-Nya :
      ”Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya[620] agar kamu beruntung”. (  QS. Al-Anfal :45 )
1.   Orang yang takut kepada Allah SWT, firman-Nya :
”Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." ( QS. Al-Maidah :100 )
7.  Pejuang-pejuang di jalan iman ( Fiisabilillah ), firman Allah SWT :
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. ( QS. Al-Maidah : 35 )
8.   Orang-orang yang bertaubat, firman Allah SWT :
”........dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. ( QS. An-Nur : 31 )
          Ayat selanjutnya menyoroti sifat-sifat kaum beriman dan dalam konteks ini, pertama-tama menekankan pentingnya shalat wajib, Allah SWT berfirman : (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.
          Istilah khasyi’un ( orang-orang yang khusyu’ ) berasal dari kata khusyu’ yang berarti kesopanan spiritual dan fisik, yang disandang secara lahiriah oleh jasad manusia manakala berada dihadapan seorang besar atau di depan kebenaran yang penting.
          Di sini Al-Qur’an tidak hanya memperhitungkan pelaksanaan shalat wajib itu sendiri sebagai tanda orang-orang beriman, tetapi juga memandang kekhusyu’an dalam shalat sebagai salah satu sifat mereka. Ini merujuk pada kenyataan bahwa shalat mereka bukanlah shalat yang tak bermakna dan hanya merupakan gerakan-gerakan tak berjiwa. Apabila mereka mengerjakan shalat wajib, mereka mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada Allah SWT dan melepaskan diri dari hal-hal selain Dia, dan dengan demikian mencapai pertemuan dengan-Nya. Mereka sedemikian khusyu’ dalam berkontemplasi serta berdo’a kepada Allah SWT, sehingga setiap partikel wujudnya dipengaruhi oleh kekhusyu’an tersebut. Mereka melihat dirinya hanya sebagai atom-atom yang bertebaran di hadapan Wujud tak terbatas dan setetes air di lautan yang Maha luas.
          Bagi seorang mukmin, setiap saat dalam shalatnya adalah pelajaran dalam pengembangan diri dan pelatihan untuk benar-benar menjadi manusia dan sarana menyempurnakan hati dan jiwanya.
          Sebuah hadits menunjukkan bahwa suatu ketika, Nabi Muhammad SAW, melihat seorang laki-laki mengelus-elus janggutnya saat mengerjakan shalat, maka Rasulullah SAW pun berkata : sekiranya hatinya khusyu’, tentu anggota-anggota tubuhnya juga akan khusyu’.
          Perkataan Nabi ini merujuk pada kenyataan bahwa kekhusyu’an adalah keadaan batin yang mempengaruhi keadaan lahiriah seseorang. Para pemimpin spiritual Islam yang besar selalu khusyu’ dalam shalatnya hingga ketika sedang shalat, mereka menjadi terasing dari segala sesuatu selain Allah SWT. Terdapat sebuah hadits yang mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW sedang berdiri dalam shalatnya, beliau terkadang melihat kelangit, tetapi setelah ayat ini diturunkan, beliau lalu melihat kebawah dan tak pernah lagi melihat keatas jika sedang shalat.
          Kata laghwi berarti perbuatan atau pembicaraan yang sia-sia. Menghindari kesia-siaan dan hal-hal yang tak karuan tidak hanya terbatas  pada kaum muslimin saja, kaum terdahulu pun dianjurkan hal yang sama. Dalam ayat mulia di atas, sifat kedua dari orang-orang beriman disebutkan sesudah sifat kekhusyu’an adalah : Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
Dalam kenyataannya, semua gerakan dan kebijakan hidup mereka memiliki tujuan yangberguna dan konstruktif. Sebab ketidakbergunaan berarti kesia-sian dan ketidakefektifan dalam tindakan. Sesungguhnya, seperti telah dikatakan para ahli tafsir besar, setiap tindakan dan pembicaraan yang tidak membawa manfaat adalah sia-sia. Sebagian ahli tafsir mengartikan kesia-siaan sebagai kehampaan dan yang lain menafsirkannya sebagai dosa-dosa secara keseluruhan. Sebagian lagi menafsirkannya sebagai kutukan atau menggunakan bahasa yang buruk, yang lain mengartikannya sebagai nyanyian-nyanyian yang tak senonoh, tak karuan dan permainan-permainan. Sementara yang lain lagi menafsirkannya  sebagai kemusyrikan. Semua penafsiran ini adalah perluasan dari konsep umum dan menyeluruh.
          Tentu saja, kesia-siaan tidak hanya berarti pembicaraan dan perbuatan yang sia-sia tanpa makna, melainkan juga pikiran sia-sia, tak bermakna dan tak berdasar yang mengakibatkan lalai terhadap Allah SWT. Ia juga mencegah kita dari merenungkan  hal-hal yang baik dan konstruktif. Semua karakteristik yang di sebutkan di atas diringkas dalam satu konsep dan istilah laghwi ( kesia-siaan / ketidakbergunaan ).
          Dalam kenyataan aktual , orang-orang beriman sedemikian terlatih sehingga bukan saja mereka tidak terlibat dalam pikiran-pikiran tak karuan dan tak berdasar, tapi juga seperti dikatakan Al-Qur’an menghindarinya. Dengan perkataan lain, perbuatan yang sia-sia adalah perbuatan yang yang tidak bermanfaat, akan tetapi perbuatan sia-sia itu relatif sifatnya. Sebab, terkadang suatu perbuatan merupakan sia-sia  dalam satu situasi, namun berharga dan berguna dalam situasi yang lain.
          Akan tetapi, Allah yang Maha Agung tidak mencirikan orang-orang yang beriman sebagai orang-orang yang meninggalkan perbuatan sia-sia secara mutlak. Sebab manusia adalah makhluk yang berada di pinggir jurang dosa dan kesalahan. Dia menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang menjauhi perbuatan seperti itu, bukan meninggalkannya secara mutlak.
          Meninggalkan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang mengajak manusia menyibukkan diri dengannya, tetapi dia mengabaikannya dan tidak memberikan nilai kepadanya. Malahan dia berpaling darinya dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain. Seseorang yang meninggalkan suatu perbuatan menganggap bahwa melibatkan diri dalam perbuatan tersebut adalah merendahkan derajatnya dan menganggap lebih baik mengejar tujuan-tujuan yang lebih tinggi dan mengerjakan tugas-tugas lebih mulia.
          Iman yang sejati juga menyeru manusia agar menumbuhkan sikap seperti ini, karena iman termasuk dalam ranah kebesaran dan keagungan, serta merupakan sumber kebesaran, kemuliaan dan kecemerlangan. Orang yang beriman hanya berupaya hidup demi mencapai kesejahteraan akhir dan sukses yang kekal. Dia mengejar kegiatan-kegiatan yang di pandang  besar oleh Allah SWT dan tidak memberi nilai pada perbuatan-perbuatan dan prilaku orang-orang bodoh dan hina. Jika orang-orang jahil berbicara kepada orang-orang yang beriman, maka mereka ( orang-orang yang beriman ) menjawabnya dengan kebaikan, dan manakala orang-orang beriman itu melihat kegiatan yang sia-sia, mereka akan menyikapinya dengan kemuliaan dan kemurahan hati.
          Keadaan orang-orang yang beriman ini menjadi jelas bahwa penggambaran mereka dengan sikap menghindari hal yang sia-sia adalah makna yang bersifat kiasan yang menunjuk pada tekad yang teguh dan kemulian pribadi mereka.
          Kemudian pada ayat yang lain dibahas masalah zakat. Istilah zakat dalam filologi berarti penyucian, kebersihan, pertumbuhan, dan perkembangan. Dalam hukum Islam dan bagi kaum muslim, ia berarti bagian khusus dari harta benda seseorang yang harus diambil, dengan syarat-syarat tertentu dan kemudian diberikan kepada kaum fakir-miskin dan untuk kegiatan-kegiatan kebaikan yang lain.
          Dengan perkataan lain, zakat adalah mengambil sebagian harta milik seseorang dan memberikannya kepada orang miskin agar harta yang tertinggal pada pemiliknya dapat tumbuh dengan rahmat Allah SWT dan meningkatkan derajat spritual pemiliknya. Di samping itu, zakat juga menghilangkan apa yang tidak halal dari harta seseorang dan menghilangkan cela dan sifat-sifat buruk dari pemiliknya. Jadi , kita dapat mengatakan bahwa dikarenakan membayar zakat menghapuskan sifat-sifat mamonisme ( pengaruh jahat kekayaan ), mementingkan diri sendiri, serta kekikiran dan kekerasan hati dari jiwa manusia, maka ia dinamakan zakat.
          Zakat adalah kewajiban dan pelayanan agama yang sangat penting. Ia adalah kewajiban Islam yang merupakan butir ketiga prinsip-prinsip agama dan dengan kata lain, terhitung sebagai tonggak agama yang kedua. Orang yang mengingkari akan wajibnya zakat, dianggap sebagai orang tak beriman atau bukan muslim. Pada ayat ini merujuk pada sifat ketiga orang-orang beriman sejati, yang memiliki aspek sosial dan ekonomi, Allah SWT berfirman :” Dan orang-orang yang menunaikan zakat”.
          Surah ini diwahyukan di Mekkah dan ketika itu hukum yang mewajibkan zakat belum di wahyukan. Karenanya, terdapat berbagai penafsiran yang di kemukakan oleh para mufasir mengenai ayat ini.
          Apa yang tampaknya lebih benar adalah bahwa zakat tidak secara eksklusif berarti zakat wajib. Sebab , Islam memiliki sejumlah sistem yang bersifat sunah. Zakat sebagai kewajiban diwahyukan di Madinah, tetapi pembayaran zakat sebagai amal baik yang di sunahkan juga telah diserukan sebelumnya.
          Sebagian ahli tafsir mengomentari bahwa zakat di Mekkah, mungkin sekali berupa kewajiban agama, tetapi tanpa batasan dan ketentuan yang pasti, yang berarti bahwa kaum muslim dibebani kewajiban memberikan sejumlah tertentu dari kekayaannya kepada kaum miskin. Baru setelah berdirinya negara Islam dan terbentuknya Baitul Mal ( kas sosial dan pemerintahan ), sistem yang terdefinisikan dengan baik menyangkut zkat disusun, yang menetapkan jumlah minimal  harta yang wajib di zakati dan di kirimnya utusan-utusan yang bertugas mengumpulkan zakat kepada masyarakat atas perintah Nabi Muhammad SAW.
          Akhirnya, sebagai bahan perbandingan, mari kita cermati Surah Al-Maidah ayat 12 yang artinya : ”Dan Sesungguhnya Allah Telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan Telah kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik[406] Sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia Telah tersesat dari jalan yang lurus”.
 [406]  maksudnya ialah: menafkahkan harta untuk menunaikan kewajiban dengan hati yang ikhlas.
          Pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman :” Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. Karena insting seksual mungkin sekali disalahgunakan, maka penjagaan diri dari hal ini memerlukan ketakwaan, disiplin yang keras dan iman yang kuat.
          Ayat ini menyatakan bahwa sifat keempat dari orang-orang beriman adalah kesucian dalam hal seks, yakni mengendalikan diri dan menjauhi segala macam ketidakpatutan seksual. Ini berarti bahwa mereka menjaga diri dari kecabulan, dan hanya melakukan hubungan seks dengan isteri-isteri mereka dan budak-budak mereka saja, dan itu tidaklah di salahkan, ayat selanjutnya mengatakan :” Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa”.
          Dalam ayat ketujuh, Allah SWT berfirman :” Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui  batas”.
          Penggunaan frase’menjaga kemaluan mereka’dalam ayat ini merujuk pada kenyataan bahwa jika tidak ada kendali yang terus-menerus dan ketat terhadap kecenderungan-kecenderungan ke arah prilaku seksual yang salah, maka akan muncul bahaya di mana penyimpangan  dan ekses-ekses seksual akan menenggelamkan si individu bahkan masyarakat. Kata’isteri-isteri’ dalam ayat ini mencakup isteri permanen maupun isteri sementara ( Dalam perkawinan mut’ah ).
          Penggunaan frase ghayra maluumin ( mereka tidak dipersalahkan ), sangat mungkin merujuk pada gagasan keliru yang berlaku di kalangan orang-orang kristen yang menyimpang, yang mengatakan bahwa segala jenis hubungan seks bertentangan dengan harkat manusia dan bahwa menjauhinya secara mutlak adalah kebajikan. Mereka memandang setiap bentuk perkawinan sebagai bertentangan dengan usaha untuk mencapai realisasi spiritual sepenuhnya sedemikian rupa sehingga para pendeta Katolik, biarawan dan biarawati memperaktekkan kehidupan selibat ( membujang ) sepanjang hidupnya. Mereka menganggap perkawinan sebagai suatu hal yang berlawanan dengan derajat spiritual yang tinggi ( meskipun penolakan tersebut kebanyakan hanya bersifat lahiriah semata, di mana sekelompok dari mereka secara diam-diam atau rahasia justru berprilaku berbeda ).
          Orang tidak perlu diingatkan bahwa legalitas hubungan seksual dengan isteri dibatasi oleh beberapa kondisi tertentu seperti menstruasi dan semacamnya. Lebih jauh, legalitas hubungan seksual dengan budak-budak perempuan memiliki banyak syarat yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Dan perlu diingatkan juga bahwa dijaman sekarang ini perbudakan sudah dihapuskan, ayat di atas hanya menjelaskan jika masih ada perbudakan.
          Ayat berikutnya menjelaskan :” Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. Sifat lain yang menonjol dari orang-orang beriman adalah menjaga amanat dalam pengertiannya yang luas. Ini mencakup menepati janji dan sumpah, baik kepada sang pencipta maupun sesama manusia.
          Konsep luas amanat mencakupi juga amanat-amanat dari Allah SWT dan dari para nabi serta orang banyak pada umumnya. Masing-masing dari anugerah-anugerah Allah SWT adalah amanat-Nya. Agama yang benar, kitab-kitab langit, ajaran-ajaran dan perintah-perintah praktis dari para pemimpin jalan kebenaran, harta benda yang dimiliki, tanggung jawab yang dipikul, serta kedudukan sosial yang kita miliki, semuanya adalah amanat-Nya yang oleh orang-orang beriman senantiasa dijaga supaya tetap terpenuhi.
          Orang-orang beriman menjaga amanat-amanat ini ketika masih hidup dan ketika menjelang ajal, mereka mempercayakan amanat-amanat tersebut kepada generasi-generasi selanjutnya yang telah mereka didik untuk memelihara amanat-amanat tersebut.
          Makna umum dari konsep amanat dan janji juga bisa ditemukan dalam ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an seperti dalam QS. An-Nahl ayat 91 :”Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
          Menariknya, dalam beberapa ayat Al-Qur’an kita menemukan bahwa frase’ pengembalian barang amanat’ dan ’ menghormati amanat ’ mencakup baik menjaga maupun mengembalikan kepada pemiliknya. Karena itu, jika kegagalan untuk melindungi sesuatu yang di pegang sebagai amanat mengakibatkan rusaknya sesuatu itu atau terjerumusnya ia ke dalam bahaya, maka orang yang mendapat amanat itu harus berusaha mengoreksinya ( jadi, terdapat tiga tugas yang harus dilakukan; mengembalikan, melindungi dan mengoreksi ). Bagaimanapun, bersikap setia kepada perjanjian, melindunginya dan mengembalikan barang titipan kepada pemiliknya adalah pondasi-pondasi penting sistem sosial manusia.
          Ciri dan sikap paling menonjol dari orang-orang beriman adalah hal yang pertama yang disebutkan dalam surah ini, yakni sikap mereka terhadap shalat, tatkala mengatakan bahwa orang-orang beriman adalah mereka yang khusyu’ dalam shalatnya, sikap ini lagi-lagi disebutkan pada ayat ke 9 :” Dan orang-orang yang memelihara shalatnya”. Dengan demikian, surah ini menekankan peran maupun pengaruh shalat, yang merupakan tanda  pentingnya. Dan ayat diatas , sebagai kekhususan terakhir orang-orang beriman. Adalah menarik bahwa sifat utama orang-orang beriman adalah khusyu’ dalam shalat dan sifat mereka yang terakhir adalah menjaga shalat. Sifat-sifat mereka diawali dengan shalat dan diakhiri dengan shalat pula, sebab shalat adalah tali hubungan yang paling penting antara Sang Pencipta dan manusia.
          Sholat merupakan pendidikan tertinggi menuju kesadaran jiwa dan hati serta menjamin bahwa pelakunya akan menjauhi dosa. Singkatnya, jika shalat menyatu dengan semua ritualnya, maka ia akan menjadi landsan yang pasti bagi semua kebaikan dan amal shaleh. Juga perlu disebutkan bahwa ayat pertama mengenai sifat-sifat orang beriman dan ayat ini berbeda satu sama lain dalam hal masalahnya. Itulah sebabnya, dalam ayat pertama kata ’shalat’ disebutkan dalam bentuk tunggal dan dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk jamak. Ayat pertama merujuk pada kekhusyu’an dan sikap batin khusus yang merupakan roh shalat dan yang mempengaruhi keseluruhannya. Ayat yang disebutkan terakhir ini memfokuskan pada disiplin dan syarat-syarat pelaksanaan shalat, yang mencakup waktu,tempat dan jumlah shalat. Di sini , orang-orang beriman diseru agar menaati semua disiplin dan syarat yang diperlukan bagi seluruh shalat.
          Pada ayat 10 dan 11, Allah SWT menjelaskan bahwa mereka itu adalah para pewaris yang yang akan menempati surga-Nya, sebagaimana firman-Nya :” Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,(yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya”.
          Istilah bahasa Arab,firdaus yang berarti kebun, adalah tempat terbaik di surga. Setelah menyebutkan sifat-sifat paling menonjol dari orang-orang beriman, Allah SWT berfirman bahwa nasib akhir mereka adalah menjadi pewaris-pewaris yang akan mewarisi surge dan tinggal di dalamnya untuk selamanya. Dalam hal ini istilah firdaus adalah kebun khusus yang di dalamnya semua nikmat dan anugerah terkumpul. Karena itu, ia bisa disebut ’surga yang tinggi’ yang merupakan kebun surga yang paling baik dan paling tinggi.
          Digunakannya kata’mewarisi’ mungkin menunjukkan bahwa orang-orang beriman akan mendapatkannya tanpa kesulitan, persis seperti orang yang mendapatkan harta warisan tanpa melalui kesulitan dan kerja keras. Tentu saja untuk mencapai tempat-tempat yang tinggi di surge diperlukan perbaikan diri, penyucian dan perjuangan. Tetapi imbalan besar yang diperoleh untuk itu menjadikan upaya-upaya ini tampak seolah-olah kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa orang-orang beriman itu memperoleh surga Firdaus itu tanpa melalui kesulitan dan rasa sakit sedikit pun.

          Arti harfiah teks ayat menunjukkan bahwa kedudukan tinggi di surga ini dikhususkan bagi orang-orang beriman yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas. Jadi, para penghuni surga yang lain menempati kedudukan yang lebih rendah.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6303669560088871"crossorigin="anonymous"></script>

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SURGA FIRDAUS IMPIAN ORANG BERIMAN

                                                             SURGA FIRDAUS      Setiap muslim pasti ingin masuk kedalam surga dan mereka b...