6. Al-‘Adl
Al-‘Adl artinya
Mahaadil. Keadilan Allah Swt. bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apa pun
dan oleh siapa pun. Keadilan Allah Swt. juga didasari dengan ilmu Allah Swt.
yang MahaLuas. Sehingga tidak mungkin keputusan-Nya itu salah. Allah Swt.
berfirman:
Artinya : “Telah sempurnalah kalimat
Tuhanmu (al-Qur’ān, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S. al-An’ām/6:115).
Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala
yang berarti lurus dan sama. Orang yang adil
adalah orang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang
sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang menunjukkan orang yang adil
tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga dimaknai sebagai
penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Allah Swt. dinamai al-‘Adl karena keadilan Allah Swt. adalah sempurna.
Dengan
demikian semua yang diciptakan dan ditentukan oleh Allah Swt. Sudah menunjukkan
keadilan yang sempurna. Hanya saja, banyak di antara kita yang tidak menyadari
atau tidak mampu menangkap keadilan Allah Swt. Terhadap apa yang menimpa
makhluk-Nya. Karena itu, sebelum menilai sesuatu itu adil atau tidak, kita
harus dapat memperhatikan dan mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan
kasus yang akan dinilai. Akal manusia tidak dapat menembus semua dimensi
tersebut. Seringkali ketika manusia memandang sesuatu secara sepintas
dinilainya buruk, jahat, atau tidak adil, tetapi jika dipandangnya secara luas dan
menyeluruh, justru sebaliknya, merupakan suatu keindahan, kebaikan, atau
keadilan. Tahi lalat secara sepintas terlihat buruk, namun jika berada di
tengah-tengah wajah seseorang dapat terlihat indah. Begitu juga memotong kaki
seseorang (amputasi) terlihat kejam, namun ketika dikaitkan dengan
penyakit yang mengharuskannya untuk dipotong, hal tersebut merupakan suatu
kebaikan. Di situlah makna keadilan yang tidak gampang menilainya. Allah Swt.
Mahaadil. Dia menempatkan semua manusia pada posisi yang sama dan sederajat.
Tidak ada yang ditinggikan hanya karena keturunan, kekayaan, atau karena
jabatan. Dekat jauhnya posisi seseorang dengan Allah Swt. hanya diukur dari
seberapa besar mereka berusaha meningkatkan takwanya. Makin tinggi takwa
seseorang, makin tinggi pula posisinya, makin mulia dan dimuliakan oleh Allah
Swt., begitupun sebaliknya. Sebagian dari keadilan-Nya, Dia hanya menghukum dan
memberi sanksi kepada mereka yang terlibat langsung dalam perbuatan maksiat
atau dosa. Istilah dosa turunan, hukum karma, dan lain semisalnya tidak dikenal
dalam syari’at Islam. Semua manusia di hadapan Allah Swt. Akan mempertanggungjawabkan
dirinya sendiri. Lebih dari itu, keadilan Allah Swt. selalu disertai dengan
sifat kasih sayang. Dia memberi pahala sejak seseorang berniat berbuat baik dan
melipatgandakan pahalanya jika kemudian direalisasikan dalam amal perbuatan.
Sebaliknya, Dia tidak langsung memberi catatan dosa selagi masih berupa niat
berbuat jahat. Sebuah dosa baru dicatat apabila seseorang telah benar-benar
berlaku jahat.
7. Al-Ākhir
Al-Ākhir artinya Yang Mahaakhir yang tidak ada sesuatu pun
setelah Allah Swt. Dia Mahakekal tatkala semua makhluk hancur, Mahakekal dengan
kekekalan-Nya. Adapun kekekalan makhluk-Nya adalah kekekalan yang terbatas,
seperti halnya kekekalan surga, neraka, dan apa yang ada di dalamnya. Surga
adalah makhluk yang Allah Swt. ciptakan dengan ketentuan,
kehendak, dan perintah-Nya. Nama ini disebutkan di dalam firman-Nya:
Artinya: “Dialah Yang Awal dan Akhir Yang ¨ahir dan Yang Batin, dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu “. (Q.S. al-¦ad³d/57:3).
Allah Swt.
berkehendak untuk menetapkan makhluk yang kekal dan yang tidak, namun kekekalan
makhluk itu tidak secara zat dan tabi’at.
Karena secara tabi’at
dan zat, seluruh makhluk ciptaan Allah Swt.
adalah fana (tidak kekal). Sifat kekal tidak dimiliki oleh
makhluk, kekekalan yang ada hanya sebatas kekal untuk beberapa masa sesuai
dengan ketentuan-Nya. Orang yang mengesakan al-Ākhir akan
menjadikan Allah Swt. sebagai satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan hidup
selain-Nya, tidak ada permintaan kepada selain-Nya, dan segala kesudahan tertuju
hanya kepada-Nya. Oleh sebab itu, jadikanlah akhir kesudahan kita hanya
kepada-Nya. Karena sungguh akhir kesudahan hanya kepada Rabb kita, seluruh sebab dan tujuan jalan akan berujung ke haribaan-Nya semata. Orang yang mengesakan al-Ākhir akan
selalu merasa membutuhkan Rabb-nya, ia akan selalu mendasarkan apa yang diperbuatnya
kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Untuk hamba-Nya, karena ia
mengetahui bahwa Allah Swt. adalah pemilik segala kehendak, hati, dan niat.
Kisah Nabi Ibrahim as. Mencari Tuhan
Nabi Ibrahim as.
adalah putra Azar. Ia dilahirkan di wilayah Kerajaan Babylonia yang saat itu
diperintah oleh Raja Namrud. Namrud adalah raja yang sangat sombong yang
mengaku dirinya adalah Tuhan. Raja Namrud juga dikenal sangat kejam kepada siapa
saja yang menentang kekuasaannya. Suatu saat ia bermimpi. Dalam mimpinya itu,
ia melihat seorang anak lakilaki yang memasuki kamarnya kemudian mengambil
mahkotanya. Maka, ia pun memanggil tukang ramal yang sangat terkenal untuk
mengartikan mimpinya tersebut. Tukang ramal mengartikan bahwa anak yang hadir
dalam mimpinya tersebut kelak akan meruntuhkan kerajaannya. Mendengar hal
tersebut, Namrud murka. Diperintahkannya kepada seluruh tentara kerajaan agar
membunuh setiap bayi laki-laki yang dilahirkan. Azar yang istrinya saat itu
sedang mengandung bayi yang kelak adalah Ibrahim begitu khawatir akan
keselamatan bayi yang dikandung istrinya tersebut. Ia khawatir bahwa bayi yang
ada dalam perut istrinya adalah seorang bayi laki-laki yang selama ini ia
idam-idamkan. Maka, untuk menyelamatkan calon bayinya tersebut, diam- diam ia
mengajak istrinya ke dalam sebuah gua yang jauh dari keramaian. Di gua itulah
kemudian bayi Ibrahim dilahirkan. Agar tidak diketahui oleh khalayak ramai, Azar
dan istrinya meninggalkan Ibrahim yang masih bayi di dalam gua dan sesekali datang
untuk melihat keadaannya. Hal itu terus dilakukukan hingga Ibrahim menjadi anak
kecil yang tumbuh sehat dan kuat atas izin Allah Swt. Bagaimana Ibrahim dapat hidup
di dalam gua, padahal tidak ada makanan dan minuman yang diberikan? Jawabannya
karena Allah Swt. menganugerahkan Ibrahim untuk menghisap jari tangannya yang
dari situ keluarlah air susu yang sangat baik. Itulah mukjizat pertama yang
diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as. Lama hidup di dalam gua tentu membuat
Ibrahim sangat terbatas pengetahuannya tentang alam sekitar. Maka, di saat
terdapat kesempatan untuk keluar dari gua, Ibrahim pun melakukannya. Betapa
terkejutnya ia, ternyata alam di luar gua begitu luas dan indah. Di dalam
ketakjubannya itu, Ibrahim berpikir bahwa alam yang luas dan indah berikut
isinya termasuk manusia, pasti ada yang menciptakannya. Maka, Nabi Ibrahim
berjalan untuk mencari Tuhan. Ia mengamati lingkungan sekelilingnya. Namun, ia
tidak menemukan sesuatu yang membuatnya kagum dan merasa harus dijadikan
Tuhannya.
Di siang hari,
Ibrahim melihat cerahnya matahari menyinari bumi. Ia berpikir, mungkin matahari
adalah tuhan yang ia cari. Tetapi ketika senja datang dan matahari tenggelam di
ufuknya, gugurlah keyakinan Ibrahim akan matahari sebagai tuhan. Sampai
akhirnya, malam pun datang menjelang. Bintang di langit bermunculan dengan
indahnya. Sinarnya berkelap-kelip membuat suasana malam menjadi lebih indah dan
cerah. “Apakah ini Tuhan yang aku cari?” Kata Ibrahim dengan gembira.
Ditatapnya bintang-bintang itu dengan penuh rasa bangga. Tapi ternyata, ketika
malam beranjak pagi, bintang-bintang itu pun beranjak satu per satu.
Dengan pandangan
kecewa, Nabi Ibrahim melihat satu per satu bintang-bintang itu menghilang. “Aku
tidak menyukai Tuhan yang bisa menghilang dan tenggelam karena waktu,” gumamnya
dengan perasaan kecewa. Nabi Ibrahim pun mencoba mencari Tuhan yang lain.
Memasuki malam berikutnya,
bulan pun muncul dan bersinar memancarkan
cahayanya yang keemasan. Ia pun menduga, “Inikah Tuhan yang aku cari?” Maka,
ketika pagi datang menjelang, bulan pun hilang tanpa alasan. Seperti halnya
terhadap matahari dan bintang, Ibrahim pun memastikan bahwa bukanlah matahari,
bintang, dan bulan yang menjadi Tuhan untuk disembah, tetapi pasti ada satu
kekuatan Yang Mahaperkasa dan Mahaagung yang menggerakkan dan menghidupkan
semua yang ada. Ibrahim pun menyimpulkan bahwa Tuhan tidak lain adalah Allah
Swt.
Ketika keyakinan Nabi
Ibrahim as. kepada Allah Swt. betul-betul merasuki jiwanya, mulailah ia
mengajak orang-orang di sekitarnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap
berhala yang tiada memiliki kekuatan apa pun. Dan tidak pula memberi manfaat.
Orang pertama yang ia ajak untuk hanya menyembah Allah Swt. adalah Azar,
ayahnya yang berprofesi sebagai pembuat patung untuk disembah. Mendengar ajakan
Ibrahim, Azar marah karena apa yang dilakukannya semata-mata ,apa yang sudah
dilakukan oleh nenek moyangnya dahulu. Azar meminta Ibrahim untuk tidak
menghina dan melecehkan berhala yang seharusnya ia sembah.
“Wahai saudaraku!
Patung-patung itu hanyalah buatan manusia yang tidak dapat bergerak dan tidak
memberi manfaat sedikitpun. Mengapa kalian sembah dengan memohon kepadanya?”
Demikian ajakan Ibrahim kepada umatnya. Akan tetapi, kaumnya tidak mau
mendengarkan dan mengikuti ajakan Nabi Ibrahim as., bahkan mereka mencemooh dan
memaki Ibrahim. Menyadari bahwa ajakannya untuk menyembah hanya kepada Allah
Swt. Tidak mendapatkan respons dari umatnya, Nabi Ibrahim as. mengatur cara
bagaimana melakukan dakwah secara cerdas dan lebih efektif. Maka, tatkala
seluruh penduduk negeri termasuk Raja Namrud pergi untuk berburu, Nabi Ibrahim
masuk ke dalam kuil penyembahan berhala kemudian menghancurkan semua berhala
yang ada dengan sebuah kapak besar yang telah disiapkan. Semua berhala hancur
kecuali berhala yang paling besar yang ia sisakan. Pada berhala besar itu, ia
gantungkan kapak di lehernya.
Sekembalinya dari
perburuan, semua penduduk negeri termasuk Namrud, terkejut luar biasa. Mereka
dengan sangat marah mencari tahu siapa yang berani melakukan perbuatan
tersebut. Mengetahui bahwa Ibrahimlah satu-satunya lelaki yang tidak ikut serta
dalam perburuan, Raja memerintahkan semua tentara untuk memanggil dan menangkap
Ibrahim untuk dihadapkan kepada dirinya. Sesampainya di hadapan Raja Namrud,
Ibrahim berdiri dengan tegak dan penuh percaya diri.
“Hai Ibrahim, apakah
kamu yang menghancurkan berhala-berhala itu?” Tanya Raja Namrud. “Tidak, saya
tidak melakukannya,” jawab Ibrahim as. “Jangan mengelak, wahai Ibrahim,
bukankah kamu satu-satunya orang yang berada di negeri saat semuanya pergi
berburu?” sergah Raja Namrud. “Sekali lagi tidak! Bukan aku yang melakukannya,
tapi berhala besar itu yang melakukannya,” jawab Ibrahim as. dengan tenang. Mendengar
pernyataan Nabi Ibrahim, Raja Namrud marah seraya berkata, “Mana mungkin
berhala yang tidak dapat bergerak engkau tuduh sebagai penghancur berhala
lainnya?” Mendengar pertanyaan Raja Namrud, Ibrahim as. tersenyum kemudian berkata,
“Sekarang Anda tahu dan Anda yang mengatakannya sendiri bahwa berhala-berhala itu
tidak dapat bergerak dan memberikan bantuan apa-apa. Lalu, mengapa Anda sembah
ia?”
Mendengar jawaban
Ibrahim as. yang tidak disangka-sangka, Namrud sebetulnya menyadari hal
tersebut. Namun, karena kebodohan dan kesombongannya, ia tetap saja tidak
memedulikan argumentasi Ibrahim as. Ia kemudian memerintahkan semua tentaranya
untuk membakar Ibrahim hidup-hidup sebagai hukuman atas perlakuannya kepada
berhala-berhala yang mereka sembah. Setelah semua persiapan untuk membakar
Ibrahim as. telah lengkap, dilemparkanlah ia ke dalam api yang berkobar sangat
besar dan panas. Apa yang terjadi kemudian? Allah Swt. menunjukkan
kemahakuasaan-Nya dengan meminta api agar dingin untuk menyelamatkan Ibrahim
as. Maka, api pun dingin sehingga tidak sedikit pun Ibrahim as. terluka
karenanya. Itulah mu’jizat
terbesar yang diterima oleh Nabi Ibrahim, yaitu
tidak terluka saat dibakar dengan api yang sangat panas.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6303669560088871"crossorigin="anonymous"></script>