Membuka Relung Hati
Beragam cara ditempuh oleh manusia untuk mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta yaitu Allah Swt. Cara tersebut ada yang melalui jalan
merenung atau ber-tafakkur atau berżikir.
Ada pula seseorang menjadi dekat dengan Allah Swt. yang
disebabkan oleh musibah yang menimpanya. Demikianlah Allah Swt. membuka cara
atau jalan bagi manusia yang ingin dekat dengan-Nya. Sebagai orang yang
beriman, tentu saja kita harus mampu menempuh cara apa pun agar dekat dengan Allah Swt.
Kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya tentu saja
akan mengantarkannya mendapatkan berbagai fasilitas hidup, yaitu kesenangan dan
kenikmatan yang tada tara. Bukankah seorang anak yang dekat dengan orang tuanya
atau seorang pegawai bawahan dengan bosnya akan memberikan peluang atas segala
kemudahan yang akan dicapainya.
Jalan lain utuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
adalah melalui żikir. Żikir artnya
mengingat Allah Swt. dengan menyebut dan memuji nama-Nya. Syarat yang sangat fundamental
yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui żikir adalah
kemampuan dalam menguasai nafsu. Selanjutnya menyebut nama Allah Swt. (al-Asmā’u al-Husnā) berulang-ulang
di dalam hat dengan menghadirkan rasa rendah hat (tawaddu’) yang
disertai rasa takut karena merasakan keagungan-Nya. Żikir dapat
dilakukan kapan saja dan di mana saja. Berżikir pun tdak perlu
menghitung berapa jumlah bilangan yang harus di żikirkan, yang
pentng adalah żikir harus benar-benar menghujam di dalam kalbu.
Selain melalui żikir, mendekatkan
diri kepada Allah Swt. dapat pula dilakukan melalui perbuatan atau amaliah sehari-hari,
yaitu dengan selalu meniatkan bahwa yang kita lakukan adalah semata-mata hanya
karena taat mematuhi aturan main-Nya. Misalnya, kita berbuat baik kepada
tetangga bukan karena ia baik kepada kita, tetapi semata-mata karena Allah Swt.
menyuruh kita untuk berbuat demikian. Kita bersedekah bukan karena kasihan,
tetapi semata-mata karena Allah Swt. memerintahkan kita untuk mengeluarkan
sedekah membantu meringankan beban orang yang sedang dalam kesulitan. Hal ini
mestnya dapat kita lakukan karena bukankah pada waktu kecil dulu kita mampu
patuh melaksanakan perintah dan nasihat orang tua? Mengapa sekarang kita tdak
sanggup patuh pada perintah-perintah Allah Swt? Jika śhalat dapat kita
kerjakan karena semata-mata taat mematuhi perintah Allah Swt., rasanya mustahil
bila kita tdak dapat bersikap demikian pada perbuatan-perbuatan lainnya.
Mengkritisi Sekitar Kita
Manusia adalah makhluk yang sering
lupa dan sering berbuat kesalahan. “Al-Insdnu mahallul khatā wa
an-nisyan.”
Demikian bunyi sebuah hadis yang artinya, “manusia itu
tempatnya salah dan lupa.”
Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. bersabda, “Kullu Bani
Adama khatdun wa khairul khata at-taibuna.” (Setiap
keturunan Adam as. past melakukan kesalahan, dan orang yang baik adalah yang
kembali dari kesalahan/dosa).
Berdasarkan kedua hadis tersebut,
manusia memiliki sifat dan karakter yang sering berbuat kesalahan dan lupa.
Artinya, tdak ada seorang pun yang terbebas dari kesalahan dan lupa. Namun
demikian, tidaklah benar jika dikatakan bahwa tidak mengapa seseorang melakukan
kesalahan dengan dalih bahwa hal tersebut merupakan sifat manusia.
Sebagai seorang yang beriman, kita
dituntut untuk selalu melakukan refeksi dan perenungan terhadap apa yang telah
kita perbuat. Ketika seseorang terlanjur melakukan kesalahan, bersegeralah ia
untuk kembali ke jalan yang benar dengan bertaubat dan tidak mengulanginya lagi.
Demikian pula sifat lupa, ia kadang menjadi sebuah nikmat dan juga bencana.
Lupa bisa menjadi nikmat manakala seseorang terlupa dengan kejadian sedih yang
pernah menimpanya. Dapat dibayangkan, betapa sengsaranya jika seseorang tidak
dapat melupakan kisah sedih yang pernah dialaminya! Lupa juga dapat menjadi
bencana, yaitu ketika dengan lupa tersebut mengakibatkan kecerobohan dan
kerusakan. Banyak di antara manusia karena lupa melakukan sesuatu mengakibatkan
ia melakukan kesalahan yang dapat merugikan dirinya dan orang lain.
Memahami
Makna al-Asmā’u
al-Husnā: al-Karlm, al-Mu’min, al-Wakil,
al-Matln, al-Jāmi’,
al-‘Adl,
dan al-Ākhir.
1. Pengertan al-Asmā’u al-Husnā
Al-Asmā’u al-Husnā terdiri
atas dua kata, yaitu asmā yang berart nama-nama, dan husna yang berarti baik atau indah. Jadi, al-Asmā’u al-Husnā dapat
diartikan sebagai nama-nama yang baik lagi indah yang hanya
dimiliki oleh Allah Swt. sebagai bukti keagungan-Nya. Kata al-Asmā’u al-Husnā diambil
dari ayat al-Qur’ān
Q.S. Tāhā/20:8. yang artinya, “Allah Swt. tidak ada
Tuhan melainkan Dia. Dia memiliki al-Asmā’u al-Husnā (nama-nama
baik)“.
2. Dalil tentang al-Asmā’u al-Husnā
a. Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-A’rāf/7:180
Artinya: “Dan Allah
Swt. memiliki asmā’ul
husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama-Nya yang baik
itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka
kerjakan.”
(Q.S. al A’rāf/7:180)
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa al-Asmā’u al-Husnā merupakan
amalan yang bermanfaat dan mempunyai nilai
yang tak terhingga tingginya.
Berdoa dengan
menyebut al-Asmā’u al-Husnā sangat
dianjurkan menurut ayat tersebut.
b. Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari
Artnya: “Dari Abu
Hurairah ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang
satu, barang siapa yang menghafalkannya, maka ia akan masuk surga”. (H.R.
Bukhari)
Berdasarkan hadis di atas,
menghafalkan al-Asmā’u al-Husnā akan
mengantarkan orang yang melakukannya masuk ke dalam surga Allah Swt. Apakah
hanya dengan menghafalkannya saja seseorang akan dengan mudah masuk ke dalam
surga? Jawabnya, tentu saja tdak, bahwa menghafalkan al-Asmā’u al-Husnā harus
juga diiringi dengan menjaganya, baik menjaga hafalannya dengan terus-menerus
menżikirkannya, maupun menjaganya dengan menghindari perilaku-perilaku
yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah Swt. dalam al-Asmā’u al-Husnā tersebut.
1. Al-Kariim
Secara bahasa, al-Kariim mempunyai
arti Yang Maha mulia, Yang Maha
Dermawan atau Yang Maha Pemurah.
Secara istlah, al-Kariim diartikan
bahwa Allah Swt. Yang Maha mulia lagi Maha Pemurah yang memberi anugerah atau rezeki kepada semua makhluk-Nya. Dapat pula dimaknai sebagai Zat yang sangat banyak
memiliki kebaikan, Maha Pemurah, Pemberi Nikmat dan keutamaan, baik ketika diminta maupun tidak. Hal tersebut sesuai dengan frman-Nya:
Artinya: “Hai manusia apakah yang telah memperdayakanmu terhadap Tuhan
Yang Maha Pemurah?”
(Q.S. al-Inf¯ār:6)
Al-Kariim dimaknai
Maha Pemberi karena Allah Swt. senantasa memberi, tidak pernah terhenti pemberian-Nya. Manusia tidak boleh
berputus asa dari kedermawanan Allah Swt. jika miskin dalam harta, karena
kedermawanan-Nya tidak hanya dari harta yang dititipkan
melainkan meliputi segala hal. Manusia
yang berharta dan dermawan hendaklah tidak sombong jika telah memiliki sifat
dermawan karena Allah Swt. tidak menyukai kesombongan. Dengan demikian, bagi orang yang diberikan harta
melimpah maupun tidak dianugerahi harta oleh Allah Swt., keduanya harus
bersyukur kepada-Nya karena orang
yang miskin pun telah diberikan nikmat selain harta.
Al-Kariim juga
dimaknai Yang Maha Pemberi Maaf karena Allah Swt. memaafan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan
kewajiban kepada Allah Swt., kemudian hamba itu mau bertaubat kepada Allah Swt.
Bagi hamba yang berdosa, Allah Swt. adalah Yang
Maha Pengampun. Dia akan mengampuni seberapa
pun besar dosa hamba-Nya selama ia tidak meragukan kasih sayang dan
kemurahan-Nya.
Menurut imam
al-Gazali, al-Kariim
adalah Dia yang apabila berjanji, menepat janjinya, bila memberi, melampaui batas harapan,
tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi dan
tidak rela bila ada kebutuhan dia memohon
kepada selain-Nya, meminta pada orang lain. Dia yang bila kecil hati menegur tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapa yang
menuju dan berlindung kepada-Nya, dan tidak membutuhkan
sarana atau perantara.
2. Al-Mu’min
Al-Mu’m³n secara bahasa berasal dari kata amina yang berarti pembenaran, ketenangan hati, dan aman. Allah Swt. al-Mu’min artinya Dia Maha Pemberi rasa aman kepada semua makhluk-Nya, terutama kepada manusia. Dengan begitu, hati manusia menjadi tenang. Kehidupan ini penuh
dengan berbagai permasalahan, tantangan, dan cobaan. Jika bukan karena Allah
Swt. yang memberikan rasa aman dalam hati,
niscaya kita akan senantasa gelisah, takut, dan cemas.
Perhatikan frman Allah Swt. berikut!
Artnya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang
mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. al-An’ām/6:82)
Ketika kita akan
menyeru dan berdoa kepada Allah Swt. dengan nama-Nya al-Mu’min, berarti kita memohon diberikan keamanan, dihindarkan dari
fitnah, bencana dan siksa. Karena
Dialah Yang Maha Memberikan keamanan, Dia yang Maha Pengaman. Dalam nama al-Mu’min terdapat
kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Ada pertolongan dan perlindungan, ada
jaminan (insurense), dan ada bala bantuan.
Berżikir
dengan nama Allah Swt. al-Mu’min di
samping menumbuhkan dan memperkuat keyakinan
dan keimanan kita, bahwa keamanan
dan rasa aman yang dirasakan manusia
sebagai makhluk adalah suatu rahmat dan karunia yang diberikan dari sisi
Allah Swt. Sebagai al-Mu’min, yaitu
Tuhan Yang Maha Pemberi Rasa Aman juga terkandung pengertan bahwa sebagai hamba
yang beriman, seorang mukmin dituntut mampu menjadi bagian dari pertumbuhan dan
perkembangan rasa aman terhadap lingkungannya.
Mengamalkan dan meneladani al-Asmā’u al-Husnā
al-Mu’min,
artinya bahwa seorang
yang beriman harus menjadikan orang yang ada di sekelilingnya aman dari
gangguan lidah dan tangannya. Berkaitan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman.
Demi Allah tidak beriman. Para sahabat bertanya, ‘Siapa ya Rasulullah saw.?’ Rasulullah
saw. menjawab, ‘Orang yang
tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.’” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
3. Al-Wakil
Kata “al-Wakil” mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-Wakal
(Yang Maha Mewakili atau Pemelihara), yaitu Allah Swt. yang
memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan
dunia maupun urusan akhirat. Dia
menyelesaikan segala sesuatu yang diserahkan hambanya tanpa membiarkan
apa pun terbengkalai. Firman-Nya dalam al-Qur’ān:
Artinya:
“Allah Swt. pencipta segala sesuatu dan Dia Maha
Pemelihara atas segala sesuatu.” (Q.S.
az-Zumar/39:62) Dengan demikian, orang yang mempercayakan segala urusannya
kepada Allah Swt., akan memiliki kepastian bahwa semua akan diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh hamba yang mengetahui bahwa
Allah Swt. yang Maha kuasa, Maha Pengasih adalah satu-satunya yang dapat
dipercaya oleh para hamba-Nya. Seseorang yang melakukan urusannya dengan
sebaik-baiknya dan kemudian akan menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt.
untuk menentukan karunia-Nya. Menyerahkan segala urusan hanya
kepada Allah Swt. melahirkan sikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti
mengabaikan sebab-sebab dari suatu kejadian. Berdiam diri dan tdak peduli
terhadap sebab itu dan akibatnya adalah sikap malas. Ketawakkalan dapat
diibaratkan dengan menyadari sebab-akibat. Orang harus berusaha untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Ikatlah untamu dan
bertawakkallah kepada Allah Swt.” Manusia harus menyadari bahwa semua usahanya adalah sebuah doa yang aktif
dan harapan akan adanya pertolongan-Nya. Allah Swt. berfrman yang artinya, “(Yang memiliki
sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Swt. Tuhan kamu; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia
dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.“ (Q.S. al-An’ām/6:102) Hamba al-Wakil adalah yang
bertawakkal kepada Allah Swt. Ketika hamba tersebut telah melihat “tangan” Allah Swt. dalam
sebab-sebab dan alasan segala sesuatu, dia menyerahkan seluruh hidupnya di
tangan al-Wakil.
4. Al-Matiin
Al-Matiin artnya
Maha kukuh. Allah Swt. adalah Maha sempurna dalam kekuatan dan kekukuhan-Nya. Kekukuhan dalam prinsip
sifat-sifat-Nya. Allah Swt. juga Maha
kukuh dalam kekuatan-kekuatan-Nya. Oleh karena itu, sifat al-Matiin adalah
kehebatan perbuatan yang sangat kokoh dari kekuatan yang tidak ada taranya. Dengan begitu, kekukuhan Allah Swt.
yang memiliki rahmat dan azab
terbukti ketika Allah Swt. memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada apa pun yang dapat menghalangi
rahmat ini untuk tiba kepada sasarannya. Demikian juga tidak ada kekuatan yang
dapat mencegah pembalasan-Nya.
Seseorang yang
menemukan kekuatan dan kekukuhan Allah Swt. akan membuatnya menjadi manusia yang tawakkal,
memiliki kepercayaan dalam jiwanya dan tdak merasa rendah di hadapan manusia lain.
Ia akan selalu merasa rendah di hadapan Allah Swt. Hanya Allah Swt. yang
Maha Menilai. Oleh karena itu, Allah Swt. melarang manusia bersikap
atau merasa lebih dari saudaranya. Karena hanya Allah Swt. yang Maha
Mengetahui baik buruknya
seorang hamba. Allah Swt. juga menganjurkan manusia bersabar. Karena
Allah Swt. Mahatahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Kekuatan dan
kekukuhan-Nya tdak terhingga dan tdak terbayangkan oleh manusia yang lemah dan
tidak memiliki daya upaya. Jadi, karena kekukuhan-Nya, Allah Swt. tidak
terkalahkan dan tidak tergoyahkan. Siapakah yang paling kuat dan kukuh selain
Allah Swt? Tidak ada satu makhluk pun yang dapat menundukkan Allah Swt.
meskipun seluruh makhluk di bumi ini bekerja sama. Allah Swt. berfrman: Artinya: “Sungguh Allah Swt., Dialah pemberi rezeki yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kukuh.” (Q.S. aż-Żāriyāt/51:58)
Dengan
demikian, akhlak kita terhadap sifat al-Mat³n adalah
dengan beristqamah (meneguhkan
pendirian), beribadah dengan kesungguhan hati, tidak tergoyahkan oleh bisikan
menyesatkan, terus berusaha dan tidak putus asa
serta bekerja sama dengan orang lain sehingga menjadi lebih kuat.
5. Al-Jāmi’
Al-Jāmi’ secara
bahasa artnya Yang Maha Mengumpulkan/Menghimpun, yaitu bahwa Allah Swt. Maha
Mengumpulkan/Menghimpun segala sesuatu yang tersebar atau terserak. Allah Swt.
Maha Mengumpulkan apa yang dikehendaki-Nya dan di mana pun Allah Swt.
berkehendak. Penghimpunan ini ada berbagai macam
bentuknya, di antaranya adalah mengumpulkan seluruh makhluk yang beraneka
ragam, termasuk manusia dan lain-lainnya, di permukaan bumi ini dan kemudian
mengumpulkan mereka di padang mahsyar pada hari kiamat. Allah Swt. berfrman : Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada
keraguan padanya”.
Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyalahi janji.”(Q.S. Ali Imrān/3:9). Allah Swt. akan
menghimpun manusia di akhirat kelak sama dengan orang-orang yang satu
golongan di dunia. Hal ini bisa dijadikan sebagai barometer, kepada
siapa kita berkumpul di dunia itulah yang akan menjadi teman kita di akhirat.
Walaupun kita berjauhan secara fisik, akan tetapi hat kita terhimpun, di akhirat kelak
kita juga akan terhimpun dengan mereka. Begitupun sebaliknya walaupun kita
berdekatan secara fisik akan tetapi hati kita jauh, maka kita juga tidak akan berkumpul dengan
mereka. Oleh sebab itu, apabila di dunia hati kita
terhimpun dengan orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, di
akhirat kelak kita akan berkumpul dengan mereka di dalam neraka.
Karena orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya,
tempatnya adalah di neraka. Begitupun sebaliknya, apabila kecenderungan
hat kita terhimpun dengan orang-orang yang beriman, bertakwa
dan orang-orang saleh, di akhirat kelak
kita juga akan terhimpun dengan mereka. Karena tidaklah mungkin orang-orang beriman hatinya
terhimpun dengan orang-orang kafir dan orang-orang kafir juga tidak mungkin
terhimpun dengan orang-orang
beriman. Allah Swt. juga
mengumpulkan di dalam diri seorang hamba ada yang lahir di anggota tubuh dan
hakikat batin di dalam hati. Barang siapa yang sempurna ma’rifatnya dan
baik tingkah lakunya, maka ia disebut juga sebagai al-Jāmi’. Dikatakan
bahwa al-Jāmi’ ialah orang yang tidak padam cahaya ma’rifatnya.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6303669560088871"crossorigin="anonymous"></script>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar