شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن
شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -١٨٥-
Artinya: (Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Menjelang akhir Ramadhan kebanyakan orang kesannya hanya bayar
zakat fitrah dan semua serba baru terutama pakaian dan makanan enak. Peristiwa
ini terulang-ulang setiap tahunnya dengan begitu besar biaya baik materi maupun
non materi yang dilakukan dari nenek moyang kita, orang tua kita bahkan sampai
dengan kita sekarang hampir-hampir tanpa meninggalkan makna yang seharusnya membekas dalam jiwa.
Sebagai
generasi muda bangsa harus mempunyai tekad untuk terus belajar dan membentuk
konsep masa depan dengan Al-Qur’an yang sudah terpola rasa, pikiran dan
tindakannya yang pasti nyata kebenarannya.
Untuk lebih jelasnya
pasang mata dan telinga kita memahami makna yang bernilai didalamnya kecerdasan
serta dengan lapang hati,
Dari konteks ayat tersebut dimana semua umat muslim mengetahui bahwa bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang menjadi petunjuk, penerang dan pembeda bagi orang-orang beriman.
Bila membaca kakata “guru” maka terbayang di benak kitasejumlah
huruf g, u, r, u menjadi sebuah rangkaian kata yang bermakna
sekaligus jumlah guru yang dilihat, misalnya 1 orang atau 2 orang. Begitu juga
ketika melihat ruang kelas, maka akan terbayang di dalamnya ada murid, kursi
dan meja belajar yang merupakan gabungan huruf-huruf, sedangkan kondisi ruang
kelas berhubungan dengan jumlah murid dengan kursi dan meja belajarnya.
Apabila kita membaca huruf, maka akan mendapatkan sosok dan apabila membaca angka, maka akan mendapatkan jumlah. Kalau membaca sebuah ayat dalam Al-Quran, maka yang terlebih dahulu dibaca adalah kumpulan huruf yang membentuk satu kalimat, setelah selesai membaca ayat tersebut baru menemukan angka yang merupakan nomor ayat.
tentang pentunjuk tersebut, dan pembeda yaitu kemampuan membedakan tujuan yang benar
atau yang salah.
Al-Qur’an
adalah petunjuk sekaligus penjelasan mengenai petunjuk tersebut. Dari ayat
diatas, Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan. Agar dapat mencapai kualitas
Al-Qur’an sebagai Hudan adalah ketika keadaan bathin kita Syahru Ramadhan, dimana ramadhan berasal dari kata ÙB yang artinya
membakar. Kita melakukan shaum di bulan
ramadhan, bulan pembakaran, yang dibakar tentunya adalah segala sifat buruk dan prilaku hidup kita yang
tidak benar misal nya malas, iri, dengki, permusuhan dsb, dengan demikian akan terbentuk suasana jiwa
ramadhan yaitu kesiapan hati untuk menerima bimbingan langsung dari Allah Swt. Dalam situasi Shaum, di mana pada saat itu kita dapat menahan dan mengendalikan
kebutuhan yang cenderung dapat menguasai diri. Pengendalian itu sesungguhnya
hendak menempatkan kembali kebutuhan sebagai support atau pendukung hidup, di
samping mengukuhkan kembali fungsi hidup
manusia sebagai seorang Khalifah.
Tanggung jawab hidup manusia tidak hanya sekedar untuk dirinya
sendiri, tapi juga bertanggung jawab terhadap keseimbangan dan keharmonisan
interaksi dengan luar dirinya. Jadi, siapapun yang menempatkan Al-Qur’an
sebagai Hudan, maka akan sanggup mengatur dan mengendalikan dirinya
dalam rangka keseimbangan serta keharmonisan interaksi dengan luar dirinya
dalam memenuhi kebutuhan-hidupnya. Al-Qur’an hudalinnaas, petunjuk bagi manusia, petunjuk untuk mencapai Al Haq.
Apabila
setiap hari senantiasa membaca dan mempelajari Al-Qur’an, maka akan terbentuk 3
kemampuan yaitu:
2. Bayyinati minal huda,
dia akan mendapatkan kemampuan berfikir yang jelas dan
wawasan dalam menjalani hidupnya.
3. Furqan, dia akan memiliki kemampuan membedakan untuk memilah dan memilih mana yang benar atau salah dalam hidupnya.
Tentulah manusia mempunyai kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya.
Manusia juga mempunyai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjawab tantangan hidup yang
dihadapinya. Hidup mendorong manusia melakukan sesuatu, beraktifitas, bergerak
bahkan mempertahankannya. Dorongan ini kadang begitu kuatnya sehingga yang
diperlukan adalah keyakinan terhadap kebenaran bukan selalu membenarkan kebiasaan Seperti kelaparan yang
hanya butuh makanan, tidak peduli makanan itu baik atau tidak, pokoknya cukup
yakin dan percaya.
Kebutuhan perut dan kebutuhan seks telah menjadi realita kehidupan
sehari-hari. Penderitaan dan kesengsaraan mengancam kehidupan manusia bila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Keadaan ini akhirnya menciptakan rasa tidak
aman. Kesimpulan terbalik dari kenyataan ini bahwa hidup manusia akan aman dan
tenang bila kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Hal inilah yang telah
menyebabkan terjadinya berbagai hal yang amat ironis dalam kehidupan manusia, di mana terjadi pertikaian, pertengkaran, kekerasan
bahkan pembunuhan hanya agar dapat kebutuhannya terpenuhi.
Di akhir ayat tersebut terdapat perkataan
tasykurun atau orang-orang yang bersyukur, apakah syukur itu?
Berikut adalah tanda-tanda orang bersyukur
TANDA |
ARTI |
CONTOH |
رضا |
Tanpa
Keluh Kesah |
Cobaan
apapun yang menimpa kita baik itu kesusahan ataupun kesenangan kita
menjalaninya dengan lapang dada dan tidak selalu mencari hikmah dan nilai dari apa yang terjadi. |
صبر |
Tanpa
Batas |
Apabila
mendapatkan cemoohan atau kritikan dari siapa saja hendaknya jangan bersikap
reaktif dan emosional. |
اخلاص |
Tanpa
Beban |
Apapun
tugas yang didapat baik dari guru maupun orang tua selalu diselesaikan dengan
rasa tanggung jawab. |
Lebih Dekat Dengan Ayat
Di dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 185 disebutkan bahwa bulan ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sehingga ada sebagian orang yang menyebutnya Syahrul Qur’an. Yaitu Al-Qur’an yang 30 juz itu diturunkan sekaligus dari lauh mahfuzh ke baitul ‘izzah di langit dunia. Dan kemudian selama kurun waktu 23 tahun (selama masa kenabian) diturunkan secara berangsur-angsur. Lalu untuk apakah Allah Swt menurunkan Al-Qur’an? Al-Qur’an diturunkan agar dijadikan sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi kaum muslimin dalam menghadapi berbagai situasi agar bisa selamat di dunia dan akhirat. Namun demikian, ayat-ayat tersebut memang diturunkan berangsur-angsur dalam berbagai situasi dan waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada. Dan ayat-ayat yang pertama diturunkan adalah QS. Al ‘Alaq :1-5 ketika Rasulullah sedang bertahannuts (menyepi) di gua hira.
Sebab Turunnya (Asbabun Nuzul) Q.S. Al Baqarah : 185
Secara umum Surat Al-Baqarah diturunkan pada tahun
pertama Hijrah. Kebanyakan ayatnya berisi teguran kepada orang-orang Yahudi
yang mengalang-halangi kemajuan Islam, dan selebihnya menetapkan beberapa
ketentuan hukum, seperti perubahan kiblat, kewajiban puasa, haji dan lain-lain.
Dalam hal ini Q.S. Al-Baqarah
: 185 diturunkan untuk memuliakan bulan ramadhan dari bulan-bulan lainnya.
إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ -٣-
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi. (Q.S. Ad Dukhan : 3).
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ -٣-
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam
Kemuliaan (Lailatul Qadar). (Q.S. Al Qadr : 1).
Ali Ash Shabuni menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Layl Mubârakah (malam yang diberkahi) adalah malam yang
sangat agung dan mulia, yaitu Lailatul Qadar, yang terdapat pada bulan yang
penuh berkah (bulan Ramadhan). Hal senada dinyatakan oleh Ibn Jauzi.
Lailatul Qadar juga disebut sebagai malam yang penuh keberkahan,
karena pada malam itu Allah Swt. menurunkan kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) Al
Qur’anul Karim yang di dalamnya berisi keberkahan, kebaikan, dan pahala.
Imam Qurthubi mengatakan, bahwa tafsir dari firman Allah Swt. hudan li an nas
wa bayyinat min al-huda wa al-furqan adalah sebagai berikut:
Hudan dibaca nashab karena
ia berkedudukan sebagai hâl dari Al-Qur’an. Susunan kalimat semacam
ini bermakna hâdiyan lahum(petunjuk untuk mereka). Frasa wa
bayyinât berkedudukan sebagai ‘athaf ‘alayh.Al-hudâ sendiri
bermakna al-irsyâd wa al-bayân (petunjuk dan penjelasan).
Maknanya, Al-Quran secara keseluruhan baik ayat-ayat muhkâm, mutasyâbihât,
maupun nâsikh dan mansûkh jika dikaji dan diteliti
secara mendalam, akan menghasilkan hukum halal dan haram, nasihat-nasihat,
serta hukum-hukum yang penuh hikmah. Adapun al-furqân bermakna mâ
farraqa bayn al haq wa al-bâthil” (hal yang bisa memisahkan antara
yang haq dan yang batil).
Frasa hudan li an-nâs juga bermakna rasyâdan li an-nâs
ilâ sabîl al-haq wa qashd al manhaj (petunjuk kepada umat manusia
menuju jalan kebenaran dan metode yang lurus); bayyinât min al hudâ bermakna wâdhihât
min al hudâ (petunjuk-petunjuk yang sangat jelas), artinya bagian dari
petunjuk yang menjelaskan tentang hudûd Allah, farâ’idh-Nya,
serta halal dan haram-Nya; al furqân bermakna al fashl bayn
al haq wa al bâthil (pemisah antara kebenaran dan kebathilan). Makna
semacam ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan dari Al Suddi (yang
artinya), “Maksud dari firman Allah Swt. wa bayyinât min al hudâ wa al
furqân adalah bayyinât min al halâl wa al harâm. (penjelasan
yang menjelaskan halal dan haram).
Al Hafidz As Suyuthi juga menjelaskan, bahwa al hudâ bermakna
petunjuk yang dapat menghindarkan seseorang dari kesesatan; bayyinât
min al hudâ bemakna ayat-ayat yang sangat jelas serta
hukum-hukum yang menunjukkan seseorang kepada jalan yang benar; dan al
furqân bermakna pemisah antara kebenaran dan kebatilan.
Ayat di atas telah menggambarkan betapa Allah Swt. telah
memuliakan dan mengagungkan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan yang lain.
Sebab, pada bulan itu Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an yang berisikan petunjuk,
penjelasan, serta pemisah antara yang haq dan yang batil. Tidak
hanya itu, Al-Qur’an juga adalah sumber segala sumber hukum bagi kaum Muslim
yang tidak boleh diingkari dan diacuhkan. Kemudian Pada
ayat ini Allah Swt juga menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan itu ialah pada
bulan Ramadhan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan Rasulullah saw.
telah bersabda:
صوموا
لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم (و في رواية :
فإن غم عليكم) فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (و في رواية مسلم : فاقدروا ثلاثين)
Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadhan) dan berbukalah kamu karena melihat bulan (Syawal). Apabila tertutup bagi kamu (dalam satu riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang buruk), maka sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim "takdirkanlah" atau hitunglah bulan Sya’ban tiga puluh hari). (HR Bukhari dan Muslim).
Apakah tertutup
bulan itu, karena cuaca yang tidak mengizinkan, atau memang karena menurut
hitungan falakiyyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Sya’ban, atau
pada tanggal 29 malam 30 Ramadhan, tidaklah kita persoalkan di sini. Akan
tetapi barang siapa yang melihat bulan Ramadhan pada tanggal 29 masuk malam 30
bulan Sya’ban, atau ada orang-orang yang melihat yang dapat dipercayainya, maka
ia wajib berpuasa besok harinya. Kalau tidak, maka ia harus menyempurnakan
bulan Sya’ban 30 hari. Begitu juga barang siapa yang melihat bulan Syawwal pada
tanggal 29 malam 30 Ramadhan, atau ada yang melihat yang dapat dipercayainya,
maka ia wajib berbuka besok harinya, kalau tidak, maka ia harus menyempurnakan
puasa 30 hari. Sebaiknya dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadhan dan
hari raya Syawal agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga kalau ada
perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai
dengan kaidah yang berlaku:
حكم الحاكم يرفع
الخلاف
Artinya: Putusan penguasa menghilangkan/menghapuskan perbedaan
pendapat.
Orang-orang yang tidak dapat melihat bulan Ramadhan seperti
penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam
bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya
disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu, Mekkah yang pada daerah
tersebut dianggap daerah mu'tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau
diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub
selatan.
Pada ayat 185 ini, Allah mengulangi memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan menggantikan pada hari-hari yang lain. Kemudian pada penutup ayat ini Allah menekankan supaya disempurnakan bilangan puasa itu dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk-petunjuk yang diberikan.
Hidup Sejalan Dengan Al- Quran!
Salah satu amanah yang telah dibebankan kepada manusia adalah
hidup sejalan dengan tuntunan Al-Qur’an.
Artinya, seorang Muslim harus selalu tunduk dan patuh terhadap aturan Allah.
Amanah untuk hidup sesuai tuntunan Allah Swt. sangatlah berat. Begitu
beratnya, gunung akan hancur berkeping-keping karena takut atas konsekuensinya.
Allah Swt. berfirman,
لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعاً مُّتَصَدِّعاً مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ -٢١-
Artinya: “Seandainya Kami menurunkan Al Qur’an ini pada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut
kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka
berpikir. (Q.S. Al-
Hasyr : 21).
Imam Al Baidhawi, menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
Seandainya Kami (Allah) menciptakan akal dan perasaan pada gunung
sebagaimana yang telah Kami ciptakan pada diri manusia, kemudian Kami
menurunkan Al-Qur’an di atasnya, dengan konsekuensi pahala dan siksa, sungguh
ia akan tunduk, patuh, dan hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah.
Ayat ini merupakan gambaran betapa besarnya kehebatan dan pengaruh Al-Qur’an. Maksud ayat ini adalah
celaan terhadap manusia disebabkan tidak tunduk ketika dibacakan Al Qur’an
kepadanya. Bahkan, mereka menolak keajaiban-keajaiban dan
keagungan-keagungan Al-Qur’an.
Dalam
kitab Bahr Al Muhîth disebutkan, bahwa maksud ayat ini adalah
celaan kepada manusia yang telah keras hatinya, dan tidak terpengaruh hatinya
dengan Al-Qur’an yang seandainya diturunkan di atas sebuah gunung, niscaya
gunung itu akan tunduk dan terpecah-belah karena takut kepada Allah Swt.
Jika gunung yang tegak dan kokoh saja tunduk dan patuh kepada Al-Qur’an tentu
manusia harus lebih tunduk pada Al- Qur’an.
Lalu, apakah kaum Muslim sudah tunduk dan patuh kepada Al-Qur’an dan kandungan isinya?
Ataukah justru mereka acuh, mengingkari, bahkan berusaha mengganti hukum-hukum
yang terkandung di dalam Al-Qur’an ? Bukankah Allah
Swt. telah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى
قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا -٢٤-
Artinya:”Apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati
mereka terkunci.(Q.S. Muhammad : 24).
Tidak
hanya itu saja, Allah Swt. telah menjanjikan bagi siapa saja yang membaca
Al-Qur’an dengan pahala yang
sangat besar.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ -٢٩-
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitabullah
dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tiada akan merugi. (Q.S.
Al Fathir : 29).
Lalu,
mengapa kaum Muslim tidak serius mempelajari, membaca, memahami, dan
mengamalkan kandungan Al-Qur’an.
Bagaimana mungkin kita bisa memikul amanah yang telah dibebankan Allah kepada
kita sekiranya kita tidak berusaha dengan serius mempelajari kandungan isi
Al-Qur’an?
Sayangnya, kebanyakan kaum Muslim sekarang ini telah enggan, bahkan acuh
terhadap Al Qur’an. Tidak sedikit di antara mereka yang mengibarkan peperangan
terhadap Al-Qur’anul Karim. Mereka berusaha
menundukkan Al-Qur’an agar sesuai dengan
keinginan-keinginan mereka. Tak henti-hentinya mereka mendiskreditkan
hukum-hukum agung yang lahir dari Al-Qur’anul
Karim. Padahal, siapa saja yang mendustakan dan menyombongkan dirinya di
hadapan ayat-ayat Allah tidak mungkin bisa masuk ke dalam surga Allah
Swt. Allah Swt. Berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا
وَاسْتَكْبَرُواْ عَنْهَا لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاء وَلاَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ
نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ -٤٠-
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami
dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan
pintu-pintu langit (ampunan) dan mereka tidak (pula) masuk surga, hingga unta
mauk ke lubang jarum. Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat
kejahatan. (QS Al A‘raf : 40).
Pada
hakikatnya, orang yang menolak aturan-aturan Allah adalah orang yang
mendustakan dan menyombongkan dirinya di hadapan ayat-ayat Allah. Orang-orang
semacam ini tidak mungkin bisa masuk surga Allah, sebagaimana tidak mungkinnya
unta masuk ke lubang jarum.
Hukum
Allah adalah hukum terbaik. Tidak ada satupun hukum yang bisa melebihi
hukum Allah. Lalu, pantaskah kita membuat dan memproduksi hukum menurut hawa
nafsu dan akal kita sembari mengesampingkan hukum hukum Allah. Lalu, apakah
diri kita masih pantas berharap pada surga Allah Swt., sementara kita masih
mengacuhkan dan meminggirkan Al-Qur’an?
Maka buatlah hukum sesuai Al-Qur’an!
Puasa diwajibkan di bulan Ramadhan karena padanya diturunkan
Al-Qur’an. Sebagai Kitab Suci, Al-Qur’an hanya bisa dijangkau maknanya (baca: disentuh) oleh orang
yang suci pula (56:79). Puasa adalah sarana ibadah untuk mensucikan jiwa dari
kotoran ego dan subjektivitas (pribadi dan golongan). Maka alangkah ironisnya
manakala kita mendahulukan ego kelompok seraya mengabaikan kesatuan umat hanya
karena berbeda cara penentuan awal Ramadhan dan Syawal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar